Di antara dentingan bahasa asing dan gemerlap stan-stan inovasi dari puluhan negara di Bellesalle Haneda Airport, Tokyo, sebuah kelompok pelajar dari Samarinda berdiri percaya diri. Enam anak muda itu bukan sekadar hadir, tapi berhasil membuat dunia menoleh berkat racikan ilmiah dari sebuah daun lokal yang biasa tumbuh di pekarangan rumah.
Mereka adalah Ahmad Fauzan Hermawan, Alif Lail Majid, Abyan Parikesit Syakrisyah, Byantara Arya Nadif, Fadel Faidlurahman, dan Zhafira Trisiana Putri. Enam siswa SMAN 3 Samarinda ini sukses membawa pulang medali emas dari ajang Japan Design, Idea & Invention Expo (JDIE) 2025, yang digelar pada 5–6 Juli lalu di Tokyo, Jepang.
“Ini tentang membuktikan bahwa dari Kalimantan Timur, kita juga bisa bersaing di tingkat dunia,” ucap Fauzan, sang ketua tim, usai pengumuman penghargaan.
Dari Halaman Rumah ke Laboratorium
Perjalanan mereka dimulai dari hal yang tampak sederhana: daun Bangunbangun (Plectranthus amboinicus), tanaman herbal yang akrab dalam budaya lokal. Tapi di tangan para remaja ini, daun tersebut menjelma jadi subjek lima inovasi: salep herbal, susu bubuk, aromaterapi, serta dua penelitian ilmiah yang menguji potensi antikanker dan pengaruh terhadap aktivasi DNA leukosit.
Tak ada laboratorium megah. Proses riset mereka dilakukan secara mandiri di Samarinda, dibantu Laboratorium Fakultas Farmasi Universitas Mulawarman dan dibimbing intens oleh Hotrizal Sinurat, S.Si. Dari analisis darah tikus putih, penulisan artikel ilmiah, hingga pembuatan poster dan simulasi presentasi internasional—semua dijalani dengan penuh dedikasi.
“Setiap malam, kami menyusun ulang data dan latihan presentasi. Rasanya seperti hidup di dua dunia, sekolah dan laboratorium,” kenang Zhafira.
Bukan Prestasi Perdana
Ini bukan kali pertama beberapa dari mereka mencetak prestasi global. Pada Februari lalu, Fauzan, Alif, dan Byantara juga menyabet Gold Award di ajang International Youth Innovation Awards, Malaysia Technology Expo (MTE) 2025.
“Kami belajar dari pengalaman itu. Tapi kali ini tantangannya lebih besar, karena membawa tim lebih besar dan proyek yang lebih kompleks,” ujar Alif.
Apresiasi Dunia untuk Inovasi Lokal
Setibanya di Tokyo, tim Gtranthus—nama yang mereka ambil dari istilah ilmiah daun Bangunbangun—berdiri sejajar dengan inovator muda dari lebih 20 negara. Juri internasional terkesan dengan cara mereka memadukan sains modern dengan kearifan lokal, dan penghargaan tertinggi pun diberikan.
Medali emas itu kini bukan hanya simbol kemenangan. Ia menjadi penanda bahwa inovasi tak selalu harus datang dari kota besar atau fasilitas canggih—tapi bisa tumbuh dari semangat belajar, rasa ingin tahu, dan akar budaya.
Persembahan untuk Tanah Air
“Ini bukan sekadar kompetisi. Kami ingin membawa nama Kalimantan Timur dan Indonesia ke panggung dunia,” kata Byantara. “Kami ingin membuktikan, bahwa warisan budaya dan tradisi lokal bisa dikembangkan melalui pendekatan ilmiah.”
Mereka mempersembahkan penghargaan ini untuk Indonesia, Kalimantan Timur, SMAN 3 Samarinda, para pembina, keluarga, dan seluruh pihak yang telah membersamai perjalanan mereka.
Kini, setelah pulang dari Jepang dengan kepala tegak dan hati penuh syukur, tim Gtranthus punya satu pesan yang mereka ingin suarakan:
“Inovasi bisa dimulai dari mana saja. Bahkan dari sehelai daun di halaman rumahmu.”(*)