Galian C Tak Berizin, PAD Kutim Bocor di Balik Proyek Infrastruktur

Foto: Ilustrasi

RATUSAN proyek infrastruktur di Kabupaten Kutai Timur menyimpan rahasia gelap di balik fondasi pembangunannya. Investigasi mendalam mengungkap praktik penggunaan material galian C atau Material Bukan Logam dan Batuan (MBLB) dengan status legalitas yang dipertanyakan, sementara potensi pendapatan daerah dari sektor ini terus merosot tanpa penanganan serius.

Pembangunan infrastruktur di Kutai Timur telah mencatat pencapaian signifikan dengan pembangunan jalan sepanjang 11.000 kilometer dalam kurun waktu 2023-2024. Namun, di balik kemajuan fisik ini, terdapat praktik abu-abu dalam penggunaan material konstruksi.

Bacaan Lainnya

“Spesifikasi material hanya sebatas jenis tanah dan asal material, tanpa verifikasi legal,” ungkap Ahmad Iip Makruf, Kepala Dinas Perumahan dan Pemukiman Kutai Timur dalam wawancara eksklusif pada 3 April 2025.

Temuan mengkhawatirkan adalah tidak adanya klausul wajib menggunakan material berlisensi dalam dokumen kontrak proyek. Padahal, proyek infrastruktur ini mencakup 18 kecamatan dengan pembagian yang tidak merata—Sangatta Utara dan Selatan mencapai 80% dari total pembangunan, sementara kecamatan lain baru mencapai 50%. Masih tersisa 4.000 kilometer jalan yang harus dibangun atau diperbaiki.

LUBANG BESAR DALAM PUNDI-PUNDI DAERAH

Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2023, realisasi pendapatan pajak daerah Kutai Timur mencapai Rp119,6 miliar—melebihi target APBD sebesar Rp106,8 miliar. Namun, di balik capaian tersebut, tersembunyi kelemahan sistemik dalam pemungutan pajak MBLB.

BPK menemukan kurang pungut pajak MBLB senilai Rp288,6 juta. Penurunan ini terjadi karena rendahnya kesadaran wajib pajak (WP) dan belum optimalnya penagihan yang dilakukan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Kutai Timur.

Dari 45 dokumen surat pengantar pembayaran pajak MBLB untuk proyek rehabilitasi dan peningkatan jalan tahun 2021-2023, hanya satu penyedia yang telah melapor dan membayar pajak, sementara 44 lainnya belum melaporkannya.

Dalam LHP dijelaskan berdasarkan wawancara dengan Kasubbid Pendataan dan Pendaftaran Pajak Self-Assessment Bapenda, pajak MBLB termasuk Pajak Self-Assessment, sehingga penetapan dan perhitungan dilakukan oleh WP sendiri.

Kabid Bina Marga PUPR Kutim, Akla, mengungkapkan bahwa mayoritas proyek menggunakan batu merah (laterit) untuk timbunan pilihan, meskipun material ini tidak selalu memenuhi standar mutu.

“Batu merah sih kebanyakan. Cuma sebenarnya agak enggak kami sarankan juga sih kalau bisa yang jangan yang merah. Dan mutunya itu kan kadang pas yang muda itu enggak masuk,” ungkap Akla saat diwawancarai pada 3 April 2025.

Terkait pajak MBLB, Akla menjelaskan bahwa PUPR hanya memberikan rekomendasi berdasarkan volume material yang digunakan, sementara penentuan nilai pajak menjadi kewenangan Bapenda.

TARIK ULUR KEWENANGAN

Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Kutai Timur, Rijali Hadi, menyuarakan harapan agar pengelolaan galian C dapat kembali diurus oleh pemerintah kabupaten.

“Sebenarnya kita berharap untuk galian C itu kembali diurus oleh pemerintah daerah, karena itu langsung bersinggungan dengan masyarakat,” ungkap Rijali saat diwawancarai seusai menghadiri kegiatan di DPRD Kutim pada 5 Maret 2025.

Saat ini, pengelolaan galian C berada di bawah kewenangan pemerintah pusat dan provinsi, menyulitkan pengawasan di tingkat daerah. Menurut Rijali, jika kewenangan kembali ke daerah, hal ini dapat meningkatkan pendapatan daerah dari sektor pajak.

PERIZINAN GALIAN C DI KALTIM 100% ONLINE, TANPA BIAYA ADMINISTRASI

Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Kalimantan Timur menegaskan bahwa proses perizinan untuk usaha pertambangan galian C di Kaltim kini dilakukan sepenuhnya secara online dan tanpa biaya administrasi. Hal ini disampaikan oleh Kabid Mineral dan Batubara Dinas ESDM Kaltim, Achmad Prannata, yang mewakili Kepala Dinas ESDM Kaltim Bambang Arwanto.

“Untuk Galian C ini sudah memakai aplikasi Inline (perizinan Minerba online). Pelaku usaha harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang ada di aplikasi tersebut. Jadi tidak ada lagi manual,” jelas Prannata.

Sistem online ini memungkinkan pelaku usaha mengajukan permohonan izin dari mana saja tanpa harus datang ke kantor dinas. “Dari rumah pun mereka sudah bisa bermohon,” tambahnya.

Menanggapi keluhan dari beberapa pengusaha galian yang belum berizin bahwa perizinan sulit dan mahal, Prannata membantah dengan tegas. “Mahalnya dari mana? Perizinan ini Minerba online. Daftarnya pun melalui online. Tidak ada dipungut biaya pendaftaran,” tegasnya.

Prannata menduga masalah utamanya adalah kurangnya edukasi mengenai proses perizinan. “Sekarang yang jadi masalah mungkin edukasi. Persyaratannya memang harus ada macam-macam berdasarkan peraturan,” ujarnya.

Semua persyaratan dan informasi terkait perizinan dapat diakses dengan mudah melalui aplikasi Inline. “Itu ada penjelasannya di situ, di aplikasi Inline. Kita harus terbuka secara publik,” kata Prannata.

Terkait jumlah pengusaha yang telah mengurus izin di Kabupaten Kutai Timur, Prannata menyebutkan sudah banyak pelaku usaha yang mendaftar. “Kutim mah ada banyak itu sudah,” katanya.

Namun, dia menjelaskan bahwa karena sifat aplikasi yang mengutamakan privasi pengusaha, data permohonan spesifik tidak dapat dilihat oleh publik.

Dinas ESDM Kaltim juga berjanji akan membagikan data lengkap mengenai jumlah izin yang telah dikeluarkan khusus untuk Kabupaten Kutai Timur dalam waktu dekat.

Dengan sistem online ini, Dinas ESDM Kaltim berharap dapat meningkatkan transparansi dan efisiensi dalam proses perizinan galian C, sekaligus menghilangkan persepsi negatif tentang rumitnya pengurusan izin pertambangan di daerah tersebut.

KERUGIAN MULTIDIMENSI

Di luar dimensi ekonomi, praktik galian C tak berizin menimbulkan kerugian multidimensi, termasuk kerugian lingkungan akibat pengambilan material tanpa kajian dampak yang komprehensif. Hal ini juga berpotensi menimbulkan persoalan hukum, terutama jika terjadi pungutan yang dapat dikategorikan sebagai pemungutan liar (pungli).

Di tengah upaya digitalisasi perizinan, tantangan utama masih terletak pada koordinasi antar instansi dan kesadaran wajib pajak. Tanpa perbaikan sistemik, proyek infrastruktur di Kutai Timur akan terus membangun di atas fondasi legalitas yang rapuh, sementara potensi pendapatan daerah yang berharga terus tergerus.(*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *