Mengajar di Tengah Sampah, Pancaya Kutim Temukan Arti Syukur di Wajah Anak-Anak Batota

Moment saat mengajar dan belajar bersama

Di tengah aroma sampah dan tumpukan limbah yang menjulang di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Batota, sebuah ruang kecil untuk harapan tumbuh meski tak dengan papan tulis atau bangku kayu.

Hari itu, Minggu pagi, Handi Wijaya menjejakkan kaki di Batota bukan untuk membuang sampah, melainkan untuk berbagi ilmu. Bersama relawan dari Sampul Kutim, Tunas Berdaya, dan komunitas yang ia wakili, Pancaya Kutim, ia hadir dalam kegiatan “Kelas Harapan: Sampul Mengajar Batch 3 untuk mengajar anak-anak pemulung.

Bacaan Lainnya

Bagi Handi, ini bukan kegiatan sosial biasa. Perjumpaan langsung dengan anak-anak yang hidup di tengah keterbatasan membuatnya terdiam.

“Jujur, saya cukup terharu. Anak-anak di sini sangat kuat. Mereka tumbuh dengan rasa syukur yang luar biasa,” katanya, suara lirihnya nyaris kalah oleh suara mesin truk sampah yang lewat di kejauhan.

Hari itu, anak-anak diajak menggambar, mengenal beragam profesi, dan diajak bermimpi. Mereka menggambar rumah, sekolah, dan cita-cita yang belum tentu pernah disebutkan di rumah. Bagi para relawan, pelajaran terbesar justru datang dari anak-anak itu sendiri, mereka yang tak punya sepatu, tapi datang lebih pagi dari siapa pun.

Namun, di balik keceriaan itu, Handi menyimpan kegelisahan. Dari pengamatannya, masih banyak anak usia sekolah di Batota yang belum bisa membaca dan menulis. Beberapa bahkan belum mengenal huruf meski sudah berusia 12 tahun.

“Ini bukan sekadar minim fasilitas. Ini darurat pendidikan. Banyak dari mereka bahkan belum pernah sekolah sama sekali,” ujar Handi dengan nada prihatin.

Tak ingin berhenti di satu kali kegiatan, Pancaya Kutim kini tengah merancang program lanjutan. Mereka berencana melakukan kunjungan rutin ke Batota, mengajak lebih banyak relawan, dan mendorong keterlibatan pemerintah.

“Mungkin ke depan kita bisa usulkan agar ada guru hadir seminggu sekali di sini. Atau bahkan pendidikan jarak jauh yang disesuaikan dengan kondisi mereka. Kita siap bantu,” tambahnya.

Ia juga menekankan pentingnya peran orang tua. Menurutnya, perubahan tidak bisa hanya datang dari luar.

“Kami lihat banyak orang tua yang belum menempatkan pendidikan sebagai kebutuhan utama. Ini juga yang harus kita ubah bersama,” ujarnya.

Di tengah bau menyengat dan lalat yang mengitari tumpukan sampah, Handi dan para relawan menanam benih harapan. Harapan bahwa suatu hari nanti, dari TPA Batota, akan lahir anak-anak yang tak hanya bisa membaca, tapi juga menulis masa depan mereka sendiri.(*)

Pos terkait