Pesta Lom Plai 2025, Ketika Nehas Liah Bing Menjadi Jantung Tradisi

FORMASI Indonesia — Gong dan gendang bertalu di senja Desa Nehas Liah Bing, Kecamatan Muara Wahau. Irama sakral itu menandai berakhirnya seluruh rangkaian Pesta Adat Lom Plai 2025, sebuah tradisi Dayak Wehea yang lestari selama berabad-abad.

Di kampung yang berjarak sekitar 164 kilometer dari Sangatta ini, denyut budaya terus bergaung. Jauh dari hiruk pikuk modernitas, masyarakat adat menjalankan ritual warisan leluhur dengan khidmat dan sukacita.

Bacaan Lainnya

“Kami mulai dengan Melhaq Pangsehmei pada 25 Februari, lalu Ngesea Egung di hari yang sama,” tutur Ledjie Taq, Kepala Adat Wehea, dengan mata berbinar, Sabtu (26/4/2025). Ia menyambut kami di rumah besar yang menghadap Sungai Wehea.

Melhaq Pangsehmei bukan sekadar prosesi biasa. Ia adalah penghormatan kepada Long Diang Yung, sosok mitologis yang rela berkorban demi hadirnya padi bagi manusia.

“Bagi kami, padi adalah kehidupan itu sendiri,” tambah Ledjie, dengan suara dalam penuh penghayatan.

Dalam budaya Orang Wehea, padi diperlakukan layaknya manusia: dihormati, disayangi. Lom Plai pun menjadi lebih dari sekadar festival; ia adalah doa kolektif untuk kesuburan tanah dan keberlimpahan panen di masa mendatang.

Puncak pesta tahun ini berlangsung Sabtu (26/4). Sejak dini hari, kampung riuh oleh kegiatan Embob Jengea memasak lemang dan beang bit. Aroma ketan gurih dalam bambu bercampur wangi kudapan manis berbahan gula merah, menyeruak di udara.

Saat matahari meninggi, perhatian berpindah ke Sungai Wehea. Lomba dayung Plaq Saey memacu adrenalin penonton, disusul atraksi Seksiang perang-perangan tradisional menggunakan tombak rumput gajah.

“Dulu, ini adalah cara melatih prajurit untuk berperang. Sekarang, ini menjadi cara kita mewarisi semangat leluhur,” jelas Ledjie Taq, sesepuh desa yang telah puluhan kali mengikuti Lom Plai.

Tak lama, kegembiraan mencapai puncaknya. Tradisi siram-siraman air dan mengoleskan arang hitam di wajah pun dimulai. Ember, panci, dan wajan berganti fungsi menjadi alat sukacita. Semua, tanpa terkecuali, larut dalam keceriaan.

“Siram-siraman ini yang paling seru,” ujar Mita, gadis 22 tahun, sembari tertawa lepas dengan wajah dan pakaian basah penuh jelaga. “Ini cara kami menghilangkan batas sosial, semua menjadi satu dalam kebahagiaan.”

Menjelang malam, tarian Hedoq menutup pesta di Lapangan Pemuda. Para penari, dengan topeng kayu dan kostum daun pisang kering, bergerak ritmis mengisahkan hubungan manusia dengan roh alam dan para leluhur.

Ledjie Taq menegaskan, meski tahun ini Lom Plai belum masuk dalam daftar Kharisma Event Nusantara (KEN), semangat menjaga tradisi tetap menyala. “Ini warisan yang harus terus hidup, apapun tantangannya,” ujarnya.

Kepala Dinas Pariwisata Kutai Timur, Nurullah, yang turut hadir, menyatakan kekagumannya.

“Selain sebagai pelestarian budaya, festival ini juga membawa dampak nyata terhadap ekonomi lokal. Selama festival, perputaran uang cukup besar. Kita berharap ini mendorong pertumbuhan UMKM dan ekonomi kreatif,” katanya.

Di tengah derasnya modernisasi, Orang Wehea tetap setia pada janji leluhur: merawat padi, menghormati alam, dan membiarkan suara gong serta gendang terus bergema, menembus waktu, mewariskan kebijaksanaan bagigenerasi masa depan. (*/Ty/One)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *